Undang - Undang Perlindungan Konsumen
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia
menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan
barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan
Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan
kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
- bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan
suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam
era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era
globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu
menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan
teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan
sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh
dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
- bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat
dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan
barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
- bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan
sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
- bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan
konsumen di Indonesia belum memadai;
- bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas
diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan
keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat;
- bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen;
Mengingat:
Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33
Undang Undang Dasar 1945;
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan:
- Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
- Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
- Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
- Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun
tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan
atau dimanfaatkan oleh konsumen.
- Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan
atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh
konsumen.
- Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan
informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen
terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
- Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam
daerah pabean.
- Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk
digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
- Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah
lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
- Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen
dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
- Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.
- Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang
dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
- Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB
II
ASAS
DAN TUJUAN
Pasal
2
Perlindungan konsumen berasaskan
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum.
Pasal
3
Perlindungan konsumen bertujuan:
- meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
- mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
- meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
- menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
- menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung
jawab dalam berusaha;
- meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang,
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB
III
HAK
DAN KEWAJIBAN
Bagian
Pertama
Hak
dan Kewajiban Konsumen
Pasal
4
Hak konsumen adalah:
- hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
- hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
- hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan / atau jasa yang digunakan;
- hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
- hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
- hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
- hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
- hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal
5
Kewajiban konsumen adalah:
- membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
- beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa;
- membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
Bagian
Kedua
Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal
6
Hak pelaku usaha adalah:
- hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
- hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
- hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
- hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti
secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan /
atau jasa yang diperdagangkan;
- hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pasal
7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
- beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
- memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
- memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
- menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
- memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
- memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
BAB
IV
PERDUATAN
YANG DILARANG
BAGI
PELAKU USAHA
Pasal
8
- Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
- tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau
netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
- tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan
jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan
atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
- tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
- tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka
waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
- tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
- tidak memasang label atau membuat penjelasan barang
yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan
alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
ketentuan harus di pasang/dibuat;
- tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
- Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang,
rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud.
- Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi
dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
- Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan
ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Pasal
9
- Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau
seolah-olah:
- barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki
potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode
tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
- barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
- barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan
dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan
tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
- barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan
yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
- barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
- barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
- barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang
tertentu;
- barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
- secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain;
- menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman
tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap;
- menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum
pasti.
- Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilarang untuk diperdagangkan.
- Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1
dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau
jasa tersebut.
Pasal
10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai:
- harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
- kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
- kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas
suatu barang dan/atau jasa;
- tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan;
- bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal
11
Pelaku usaha dalam hal penjualan
yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan
konsumen dengan:
- menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah
telah memenuhi standar mutu tertentu;
- menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah
tidak mengandung cacat tersembunyi;
- tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan
melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
- tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau
jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
- tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau
dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
- menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum
melakukan obral.
Pasal
12
Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau
tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak
bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal
13
- Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud
tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
- Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau
mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan
jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa
barang dan/atau jasa lain.
Pasal
14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
melalui cara undian, dilarang untuk:
- tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu
yang dijanjikan;
- mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
- memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
- mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah
yang dijanjikan;
Pasal
15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang
dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal
16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
- tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu
penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
- tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau
prestasi.
Pasal
17
- Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan
yang:
- mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas,
bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan
waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
- mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau
jasa;
- memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat
mengenai barang dan/atau jasa;
- tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian
barang dan/atau jasa;
- mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa
seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
- melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai periklanan.
- Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran
iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.
BAB
V
KETENTUAN
PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal
18
- Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
- menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
- menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
- menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
- menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran;
- mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
- memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
- menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya;
- menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
- Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
- Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku
usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
- Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan Undang-undang ini.
BAB
VI
TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Pasal
19
- Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
- Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
- Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu
7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
- Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal
20
Pelaku usaha periklanan bertanggung
jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan
tersebut.
Pasal
21
- Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat
barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh
agen atau perwakilan produsen luar negeri.
- Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa
asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal
22
Pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4,
Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Pasal
23
Pelaku usaha yang menolak dan/atau
tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat
4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan
ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal
24
- Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada
pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila:
- pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa
melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
- pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak
mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh
pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
- Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan
konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa
menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang
dan/atau jasa tersebut.
Pasal
25
- Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib
menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi
jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
- Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila pelaku usaha tersebut:
- tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas perbaikan;
- tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau
garansi yang diperjanjikan.
Pasal
26
Pelaku usaha yang memperdagangkan
jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang
diperjanjikan.
Pasal
27
Pelaku usaha yang memproduksi barang
dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
- barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan
atau tidak dimaksudkan unluk diedarkan;
- cacat barang timbul pada kemudian hari;
- cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai
kualifikasi barang;
- kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
- lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak
barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal
28
Pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
BAB
VII
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Bagian
Pertama
Pembinaan
Pasal
29
- Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha.
- Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
- Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan
koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
- Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk:
- terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
- berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
- meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta
meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Pengawasan
Pasal
30
- Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat.
- Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat l dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
- Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar.
- Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
3 ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan rnenteri
teknis.
- Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB
VIII
BADAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian
Pertama
Nama,
Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal
31
Dalam rangka mengembangkan upaya
perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal
32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Pasal
33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional
mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam
upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal
34
- Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
- memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah
dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa
yang menyangkut keselamatan konsumen;
- mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat;
- menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
- menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari
masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku
usaha;
- melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
- Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
1, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan
organisasi konsumen internasional.
Bagian
Kedua
Susunan
Organisasi dan Keanggotaan
Pasal
35
- Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas
seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota,
serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25
(dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
- Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
- Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan
Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
- Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal
36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen
Nasional terdiri atas unsur:
- pemerintah;
- pelaku usaha;
- Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
- akademisi; dan
- tenaga ahli.
Pasal
37
Persyaratan keanggotaan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b.
berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal
38
Keanggotaan Badan Perlindungan
Konsumen Nasional berhenti karena:
- meninggal dunia;
- mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
- bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik
Indonesia;
- sakit secara terus menerus;
- berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
- diberhentikan.
Pasal
39
- Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat.
- Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin
oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
- Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
Pasal
40
- Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
dapat membentuk perwakilan lbu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu
pelaksanaan tugasnya.
- Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
Pasal
41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan
Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal
42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan
belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal
43
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB
IX
LEMBAGA
PFRLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA
MASYARAKAT
Pasal
44
- Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
- Lernbaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan
konsumen.
- Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
meliputi kegiatan:
- menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan
kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
- bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen;
- membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya,
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
- melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB
X
MENYELESAIAN
SENGKETA
Bagian
Pertama
Umum
Pasal
4
- Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen
dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan
peradilan umum.
- Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa.
- Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana
diatur dalam Undang-undang.
- Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat
ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.
Pasal
46
- Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
oleh:
- seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
- sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang
sama;
- Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
- pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian
materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
- Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada
peradilan umum.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1
huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Penyelesaian
Sengketa di luar Pengadilan
Pasal
47
Penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak
akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen.
Bagian
Ketiga
Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal
48
Penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku
dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB
XI
BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal
49
- Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa
konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan.
- Untuk, dapat diangkat menjadi anggota badan
penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
- warga negara Republik Indonesia;
- berbadan sehat;
- berkelakuan baik;
- tidak pernah dihukum karena kejahatan;
- memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
perlindungan konsumen;
- berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
- Anggota sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas
unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
- Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3
berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima)
orang.
- Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
50
Badan penyelesaian sengketa konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
- ketua merangkap anggota;
- wakil ketua merangkap anggota;
- anggota.
Pasal
51
- Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan
tugasnya dibantu oleh sekretariat.
- Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen
terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
- Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan
anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal
52
Tugas dan wewenang badan
penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
- melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
- memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
- melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku;
- melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
- menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis,
dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
- melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen;
- memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
- memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang
ini;
- meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada
huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan
penyelesaian sengketa konsumen;
- mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen,
atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
- memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak konsumen;
- memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
- menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Pasal
53
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah
Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal
54
- Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen,
badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
- Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1
harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh
seorang panitera.
- Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
- Ketentuan teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis
diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal
55
Badan penyelesaian sengketa konsumen
wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari
kerja setelah gugatan diterima.
Pasal
56
- Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
- Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut.
- Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen.
- Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan
ayat 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen
menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi
penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal
57
Putusan majelis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri
di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal
58
- Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas
keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling
lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
- Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
- Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan
putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permohonan kasasi.
BAB
XII
PENYIDIKAN
Pasal
59
- Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia,
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen
juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang berlaku.
- Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 berwenang:
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen;
- melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen;
- melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen;
- meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
- Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
- Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
BAB
XIII
SANKSI
Bagian
Pertama
Sanksi
Administratif
Pasal
60
- Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar
Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
- Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan
perundang-undangan.
Bagian
Kedua
Sanksi
Pidana
Pasal
61
Penuntutan pidana dapat dilakukan
terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal
62
- Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15,
Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
- Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16,
dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
- Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat,
sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku.
Pasal
63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
- perampasan barang tertentu;
- pengumuman keputusan hakim;
- pembayaran ganti rugi;
- perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
- kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
- pencabutan izin usaha.
BAB
XIV
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
64
Segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat
Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur
secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang
ini.
BAB
XV
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
65
Undang-undang ini berlaku setelah 1
(satu) tahun sejak diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
- tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau
netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
- tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan
jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan
atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
- tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
- tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka
waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
- tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
- tidak memasang label atau membuat penjelasan barang
yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan
alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
ketentuan harus di pasang/dibuat;
- tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
- barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki
potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode
tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
- barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
- barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan
dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan
tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
- barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan
yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
- barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
- barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
- barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang
tertentu;
- barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
- secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang
dan/atau jasa lain;
- menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman
tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap;
- menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum
pasti.
- mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas,
bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan
waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
- mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau
jasa;
- memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat
mengenai barang dan/atau jasa;
- tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian
barang dan/atau jasa;
- mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa
seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
- melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai periklanan.
- menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
- menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
- menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
- menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran;
- mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
- memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
- menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya;
- menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
- pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa
melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
- pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak
mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh
pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
- tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas perbaikan;
- tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau
garansi yang diperjanjikan.
- terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang
sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
- berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
- meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta
meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen.
- memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah
dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa
yang menyangkut keselamatan konsumen;
- mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat;
- menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
- menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari
masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku
usaha;
- melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
- menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan
kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
- bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen;
- membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya,
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
- melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
- seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
- sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang
sama;
- Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan
telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
- pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian
materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
- warga negara Republik Indonesia;
- berbadan sehat;
- berkelakuan baik;
- tidak pernah dihukum karena kejahatan;
- memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
perlindungan konsumen;
- berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen;
- melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen;
- melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen;
- meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan konsumen yang
berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak
konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan Konsumen
merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam
hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang / jasa. Pada
tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan oleh
pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru disahkan
oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21
ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan
lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan
Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang
Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No.
235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan
kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri
No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah
perlindungan konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika
terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya
dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan
penyelesaian sengketa konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi
landasan hukum yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping
UU Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang
juga bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun
2001 Tanggal 21 Juli
2001 tentang Badan Perlindungan
Konsumen Nasional.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun
2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Perlindungan
Konsumen.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun
2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90
Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta
Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta
Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota
Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta,
dan Kota Medan.
2.3. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1
Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak
konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberikan harapan agar
pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak
konsumen.Dengan adanya UU
Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak
dan posisi yang berimbang, dan mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika
ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.
Perlindungan konsumen yang dijamin
oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan
kebutuhan konsumen, yang bermula dari ”benih hidup dalam rahim ibu sampai
dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian
hukum itu meliputi segala upaya berdasarkab atas hukum untuk memberdayakan
konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa
kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan
oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
Di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi.Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasayang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar
kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai
dengan keinginan dan kemampuan konsum Di sisi lain, kondisi dan fenomena
tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen
menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen
menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya
oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan
perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini
terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu,
Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang
kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk
melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan
konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting
karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya
prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat kentungan yang semaksimal mungkin
dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan
kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana
dipaparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan
undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan
komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi
konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi
justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang
sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi
persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan
perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan
melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa
pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan
terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya
yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar
negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu, Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum
yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya
Undang-undang tentang Perlindungan Konsume ini telah ada beberapa undang-undang
yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
Barang, menjadi Undang-undang;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah;
- Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi
Legal;
- Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan;
- Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
- Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan;
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang
dan Industri
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement
Establishing The World
Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas;
- Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Hak Cipta sebagai mana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
- Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;
- Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek;
- Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan;
- Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Perlindungan konsumen dalam hal
pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13
Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek,
yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
melanggar ketentuan tentang HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen
di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen ini karena telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang
untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka
kemungkinan terbentuknya undang- undang baru yang pada dasarnya memuat
ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan paying yang mengintegrasikan dan memperkuat
penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen.
2.4. Asas dan Tujuan Perlindungan
Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah
air didasarkan pada sejumlah asas dan
tujuan yang telah diyakini bias
memberikan arahan dalam implementasinya di
tingkatan praktis. Dengan adanya
asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang
benar-benar kuat.
2.4.1. Asas perlindungan konsumen .
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen
pasal 2, ada lima asas perlindungan
konsumen.
- Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau
usaha secara keseluruhan.
- Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi
seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya
secara adil.
- Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d. Asas keamanan dan
keselamatan konsumen.
- Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
- Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik
pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
2.4.2. Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal
3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai
berikut.
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
- mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan
menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab
dalam berusaha.
- Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.5.Hak dan Kewajiban Konsumen
2.5.1.Hak-Hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen
memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen
sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap
dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa
bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen
pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang/jasa.
- Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang/jasa.
- Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa
yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskrimainatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau
penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga
terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang
disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang
dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini
diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian
jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya
hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala
sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi
konsumen (bab VII), bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya (bab IX, X,
dan XI).
2.5.2.Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan
Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa;
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
2.6.Prinsip-Prinsip perlindungan
konsumen
2.6.1.prinsip bertanggung jawab
berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian
adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu
tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul
pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya
kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang
berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak
konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor
kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian
produsen diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
- Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar
mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari
terjadinya kerugian konsumen.
- Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin
kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau
digunakan.
- Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor
yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara
kelalaian dan kerugian konsumen)
Dalam prinsip tanggung jawab
berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat
responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
- Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan
Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya
unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen
karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya
unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan
konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan
perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua
kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu, pertama,
tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan
produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen
diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.
- Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap
Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori
tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap
berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap
persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa
persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk
mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada
kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami
kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki
kepentingan hukum dengan produsen.
- Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas
dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai
tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka
tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep
berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
- Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab
dengan Pembuktian Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam
prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi
terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna,
adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab
berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan
kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung
jawab mutlak.
2.6.2. Prinsip Tanggung jawab
Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap
kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan
gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan
wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk
rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau
perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini
adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak
didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu
berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap
menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti
kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi
terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum
terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
- Pembatasan waktu gugatan.
- Persyaratan pemberitahuan.
- Kemungkinan adanya bantahan.
- Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak
secara horizontal maupun vertikal.
2.6.3. Prisip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal
dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk
yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti
kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar
hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya
hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya.
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa
dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut
konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di
pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip
tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah
:
- Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen
di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang
memproduksi.
- Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang
dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan
pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus
bertanggung jawab.
0 komentar:
Posting Komentar